Sejarah PT Freeport Indonesia tidak terlepas dari Kontrak Karya (KK) pertama pada tahun 1967, yang menjadi tonggak awal eksploitasi kekayaan alam Papua. Kontrak ini, yang dikenal publik sebagai “kontrak abadi,” memberikan hak istimewa kepada perusahaan asing untuk melakukan Pengelolaan Emas dan tembaga dalam skala raksasa. Perjanjian ini juga yang kemudian memicu kontroversi berkepanjangan selama beberapa dekade berikutnya.
Kontroversi utama terletak pada pembagian hasil yang dianggap tidak adil bagi Indonesia, terutama di masa awal operasi. Kekayaan mineral yang luar biasa besar di kawasan Tembagapura, Papua, kontras dengan minimnya manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal. Persoalan ini selalu menjadi isu sensitif dalam setiap renegosiasi kontrak terkait Pengelolaan Emas dan mineral lainnya.
Perubahan signifikan terjadi pada tahun 2018 ketika pemerintah Indonesia, melalui PT Inalum (Persero), berhasil mencapai kesepakatan divestasi. Indonesia kini memegang saham mayoritas sebesar 51%, mengakhiri dominasi penuh asing. Momen ini dianggap sebagai kemenangan kedaulatan, menandai babak baru dalam Pengelolaan Emas dan tembaga yang lebih berpihak pada kepentingan nasional.
Meski divestasi berhasil, tantangan baru muncul. Indonesia kini memiliki tanggung jawab penuh atas dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan skala besar. Limbah tailing yang dibuang ke sungai dan kawasan sekitarnya menjadi isu krusial. Transparansi dan mitigasi dampak lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam Pengelolaan Emas di masa depan.
Bagi masyarakat Papua, keberadaan Freeport menciptakan dilema. Di satu sisi, perusahaan ini menyediakan lapangan kerja dan infrastruktur. Di sisi lain, isu hak ulayat, kerusakan lingkungan, dan ketidaksetaraan dalam pembagian kesejahteraan menjadi luka lama yang harus segera ditangani dengan serius.
Pemerintah berkomitmen untuk memastikan bahwa kepemilikan saham mayoritas ini diterjemahkan menjadi kesejahteraan nyata bagi rakyat, terutama OAP (Orang Asli Papua). Peningkatan Dana Bagi Hasil (DBH) dan investasi pada pembangunan berkelanjutan di Papua menjadi janji yang harus direalisasikan secara konsisten dan terukur.
Saat ini, fokus beralih dari sekadar kepemilikan menjadi efisiensi operasional dan keberlanjutan. Freeport sedang bertransisi ke penambangan bawah tanah (underground mining), yang membutuhkan teknologi canggih dan komitmen keselamatan kerja yang tinggi. Pengawasan ketat diperlukan untuk memastikan praktik penambangan berjalan sesuai standar internasional.