Emas, sebagai logam mulia yang menjadi standar kekayaan global, berasal dari perut bumi melalui serangkaian tahapan industri yang kompleks dan padat modal. Proses Ekstraksi emas modern adalah operasi teknik berskala besar yang dirancang untuk memisahkan partikel emas yang sangat halus dari bijih batuan. Namun, di balik nilai ekonominya yang fantastis dan perannya dalam Anatomi Harga Emas Global, Proses Ekstraksi ini sering kali menimbulkan konsekuensi lingkungan yang signifikan dan memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan regulator. Memahami Sertifikasi dan Keaslian emas juga berarti memahami asal-usulnya dan dampak produksinya. Menurut studi lingkungan yang dipublikasikan oleh Jurnal Energi dan Sumber Daya Mineral pada Juni 2025, operasi pertambangan emas menyumbang sekitar 15% dari total limbah industri berat di beberapa wilayah pertambangan utama.
Secara umum, Proses Ekstraksi emas melibatkan dua metode utama: penambangan terbuka (open-pit) dan penambangan bawah tanah (underground mining). Setelah bijih diangkat ke permukaan, ia melalui tahap penghancuran dan penggilingan hingga menjadi bubuk halus. Tahap krusial berikutnya adalah proses kimiawi, yang paling umum menggunakan sianida (sianidasi). Dalam proses sianidasi, larutan natrium sianida disiramkan ke tumpukan bijih (heap leaching) atau dimasukkan ke dalam tangki besar untuk melarutkan emas. Larutan emas-sianida yang dihasilkan kemudian dipisahkan dan emas dimurnikan lebih lanjut. Penggunaan sianida inilah yang menjadi titik fokus utama dari isu lingkungan, meskipun hingga saat ini belum ada bahan kimia pengganti yang efektif dan ekonomis untuk skala industri besar.
Isu lingkungan yang timbul dari Proses Ekstraksi emas modern sangat beragam. Yang paling menonjol adalah pencemaran air akibat Tailing (limbah padat sisa penambangan). Tailing ini sering mengandung sisa sianida, logam berat (seperti merkuri, timbal, dan arsenik) yang dapat merembes ke sungai dan ekosistem air. Dampak lain adalah deforestasi dan perubahan bentang alam. Penambangan terbuka, khususnya, memerlukan pembukaan lahan yang sangat luas, yang dapat merusak habitat alami dan mengganggu siklus hidrologi. Peran Bank Sentral dan regulator lingkungan seperti KLHK terus berupaya memperketat aturan operasional. Sebagai contoh, di salah satu tambang emas besar di bagian timur Indonesia, pemerintah mewajibkan deposit dana jaminan reklamasi yang besar, diperkirakan mencapai Rp500 miliar per 1 Januari 2026, yang harus dicairkan untuk memulihkan fungsi lahan setelah kegiatan penambangan selesai.
Oleh karena itu, industri emas modern menghadapi tantangan ganda: memenuhi permintaan global sambil meminimalkan jejak ekologis. Upaya mitigasi termasuk penerapan teknologi dry stacking untuk tailing dan program reklamasi lahan yang komprehensif. Dengan Mekanisme dan Prosedur Penanganan lingkungan yang lebih bertanggung jawab, industri emas dapat terus Menambang Kekayaan tanpa merusak bumi secara permanen.